Genre: Drama/Komedi
Durasi: 105 Menit
Sutradara: Rudi Sudjarwo
Cerita & Penulis Skenario: Monty Tiwa
Pemain
Dinna Olivia sebagai Ningsih
Dwi Sasono sebagai Parno
Poppy Sovia sebagai Shanaz
Ira Wibowo sebagai Linda (Mama Shanaz)
Roy Marten sebagai Ridwan (Papa Shanaz)
Elmayana Sabrenia sebagai Wardah
Eddie Karsito sebagai Toyo
Marcell Anthony sebagai Mika
Sutradara Rudi Sudjarwo kembali berduet dengan Monty Tiwa untuk film terbarunya yang berjudul Mengejar Mas-Mas. Seperti biasa, Monty Tiwa bertanggung jawab untuk urusan penulisan skenario, sementara Rudi Sudjarwo memegang posisi sutradara. Sama seperti film Rudi dan Monty sebelumnya yang berjudul Mendadak Dangdut, begitupun juga dalam Mengejar Mas-Mas, dimana kesamaan cerita mengenai benturan kelas sosial ekonomi dalam masyarakat Indonesia, ditonjolkan cukup lugas dalam film ini.
Berkisah mengenai Shanaz (Poppy Sovia), gadis remaja ibukota yang melarikan diri ke Jogjakarta setelah bertengkar keras dengan Linda, mamanya (Ira Wibowo) mengenai rencana keinginan Linda untuk menikah kembali. Shanaz merasa bahwa sang mama tidak menghormati papanya (Roy Marten) yang baru saja meninggal delapan bulan yang lalu.
Merasa tidak ada tempat untuk mencurahkan isi hatinya, Shanaz memilih lari dari rumah untuk menyusul Mika (Marcell Anthony), sang kekasih yang sudah berada di Jogjakarta untuk mendaki gunung. Sial bagi Shanaz, ketika sampai di Jogja, Mika telah naik ke gunung sehari lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Terlunta-lunta di Jogja, Shanaz tanpa sengaja memasuki daerah pelacuran Pasar Kembang, dimana Shanaz bertemu dengan Ningsih (Dinna Olivia), seorang pelacur asal Madiun. Ningsih yang baik hati merelakan Shanaz untuk tinggal di tempat kost-nya, yang berbeda lokasi dari tempat pelacuran. Di tempat kost ini, Ningsih mengaku dosen kepada suami istri pemilik kost yaitu Pak Toyo (Eddie Karsito) dan Wardah (Elmayana Sabrenia).
Tinggal di tempat kost tersebut, memperkenalkan Shanaz dengan beberapa orang di lingkungan tersebut, termasuk Parno (Dwi Sasono), seorang pengamen campur sari yang selama ini menaruh hati terhadap Ningsih. Parno pada dasarnya adalah pemuda yang baik, namun lambat laun mulai menaruh hati terhadap Shanaz. Terlebih juga Shanaz yang cuek diam-diam mulai terajut rasa suka terhadap diri Parno. Persoalan menjadi cukup rumit karena ternyata Ningsih juga masih menyimpan hati kepada Parno. Sehingga kisah cinta antara mereka, tampil cukup menarik dalam film ini.
Mengomentari Mengejar Mas-Mas, film ini mempunyai nilai lebih yang kuat ketika berkutat pada budaya lokal, sebut saja budaya Jogjakarta yang menjadi tempat utama film ini. Pujian dapat dilayangkan kepada Monty Tiwa yang berhasil menghadirkan ide cerita yang orisinil serta dialog-dialog yang sering kita temui dalam kehidupan kita bermasyarakat. Kata-kata berbahasa Jawa yang terdapat di beberapa adegan film terasa menambah daya tarik dalam film ini, ditambah selipan budaya lokal yang coba diangkat lewat sosok beberapa tokoh dalam film yang sangat kental dengan kelokalan budaya Jawa, khususnya Jogjakarta.
Sutradara Rudi Sudjarwo yang klop dengan Monty Tiwa, berhasil mentransformasikan skenario Monty Tiwa menjadi film yang sangat menarik untuk ditonton. Walaupun tidak semuanya, namun aroma khas Jogjakarta cukup terwakili lewat beberapa shoot-shoot yang menampilkan tempat-tempat khas Jogjakarta mulai dari adegan dimana Shanaz berjalan di pelataran Malioboro serta mengambil gambar Benteng Vrederbug. Terlebih Rudi Sudjarwo juga berhasil menampilkan area gang lokalisasi pelacuran pasar kembang.
Selain itu, Rudi juga dapat dikatakan cukup selektif dalam memilih karakter-karakter pemain dalam film ini. Peran Ningsih yang dimainkan oleh Dinna Olivia cukup kuat pas, Peran Parno sebagai penyanyi campur sari yang diemban Dwi Sasono juga cukup pas, serta pemilihan Poppy Sovia yang cuek, cerminan remaja ala MTV, terlihat cocok dalam memerankan sosok Shanaz.
Mengomentari akting para pemain, porsi pujian terbesar rasanya pas dialamatkan kepada Dinna Olivia yang berhasil tampil menawan dalam film ini dibandingkan pemain lainnya. Dinna berhasil mengubah dirinya layaknya seorang PSK/pelacur dengan cukup gemilang. Tidak hanya itu, ucapan-ucapan serta bahasa Jawa yang seringkali keluar dari mulutnya dalam adegan film terasa tidak kaku. Walaupun sebelumnya Dinna Olivia, mengaku bahwa menggunakan bahasa jawa merupakan salah satu hal tersulit dalam perannya sebagai Ningsih.
Benturan kelas sosial yang terjadi dalam film ini, memang tdak jauh berbeda seperi kisah dalam film Mendadak Dangdut yang juga dibuat oleh Rudi Sudjarwo dan Monty Tiwa. Bedanya, kalau Mendadak Dangdut serang penyanyi Pop terkenal harus hidup miskin dengan menjadi penyanyi dangdut antar kampung, kali ini dalam Mengejar Mas-Mas seorang remaja yang berasal dari kelas atas harus terdampar pada tempat masyarakat kelas bawah dan terlebih berada tidak di Ibukota.
Realita sosial tersebut berhasil tergambar dengan baik dalam film ini. Indonesia yang dalam kondisi terpuruk berhasil digambarkan oleh Rudi dan Monty. Mulai dari bagaimana Parno seroang pemuda dewasa yang sulit mencari pekerjaan sehingga harus rela hanya menjadi seorang pengamen campur sari dan juga terlihat dalam sosok Ningsih yang terhimpit kondisi ekonomi harus mengalami kenyataan pahit, yaitu menghidupi dirinya sebagai pelacur. Sosok Parno dan Ningsih dapat kita temui dengan mudah di lapisan masyarakat bawah pada saat ini.
Cukup menarik adalah penggambaran perilaku masyarakat kita yang dangkal, yang memilih menghujat atau mengucilkan orang-orang seperti Ningsih yang hidup sebagai pelacur. Mengambil contoh Ningsih, Masyarakat seringkali berpikir bahwa hidup sebagai pelacur adalah pilihan. Padahal yang sebenarnya, hal tersebut terjadi karena kemisikinan yang tidak berhasil diselesaikan oleh Negara yang kaya-raya ini, sehingga munculah pelacuran. Seperti yang kita ketahui bahwa, pelacuran merupakan salah satu anak kandung dari kemisikinan. Dari kaca mata saya sebagai penonton film Mengejar Mas-Mas, Rudi Sudjarwo serta Monty Tiwa berhasil menggambarkan realita tersebut dalam film ini.
Berbicara kelebihan film yang telah diutarakan di atas, tentunya film ini tidak luput dari beberapa kekurangan. Beberapa adegan cukup menganggu lewat cukup kuatnya goyangan-goyangan kamera dalam beberapa adegan. Walaupun hal tersebut dapat kita temui dalam film-film Rudi Sudjarwo sebelumnya, sehingga bisa saja Rudi menjadikan itu salah satu ciri khas-nya dalam membuat film. Kelemahan lain dalam film ini, beberapa dialog bahasa Jawa tidaklah diberikan teks bahasa Indonesia. sehingga hal tersebut tentunya dapat menyulitkan penonton yang tidak mengerti bahasa Jawa.
Secara keseluruhan, film ini tampil segar untuk para penonton Indonesia yang cukup bosan dengan tema horror “itu-itu saja” yang mendominasi film nasional. Ide cerita yang orisinil serta cukup kuatnya budaya lokal yang tersaji dalam film ini cukup baik. Yang tak kalah menarik beberapa lagu soundtrack yang dinyanyikan langsung oleh Monty Tiwa, serta alunan lagu bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh penyanyi Geng Kobra asal Jogja, menambah menarik film ini. Selamat Menyaksikan !!!
Oleh : John Tirayoh/ruangfilm.com