10 Mei 2007

Angker Batu





Kebanyakan film horor Indonesia melulu jatuh sebagai film hiburan, sama sekali tak pernah menyinggung persoalan isu-isu global seperti menyusutnya hutan, keseimbangan alam dan sejenisnya. Tidak demikian dengan film “Angkerbatu” garapan Jose Purnomo. Meski secuil dan mungkin hanya sebagai alat yang tidak disadari, film ini menyinggung persoalan dimaksud.

Dibuka dengan adegan pembabatan hutan alas ketonggo untuk dijadikan hotel dan lapangan golf, film ini secara implisit memaparkan akibat pembabatan hutan maka manusia akan mengalami bencana. Tentu saja, karena ini film horor, maka bencana yang menimpa akibat pembabatan hutan, bukanlah suhu yang meningkat, tanah longsor, atau lenyapnya habitat penghuni hutan. Melainkan mengamuknya para mahluk halus lantaran kehilangan tempat tinggal.

Dan berbeda dengan horor umumnya, mahluk halus yang mengamuk di sini tidak membunuh manusia, melainkan hanya merasuki para warga. Jadilah para warga tunggang langgang meninggalkan tempat tinggal mereka. Kota jadi senyap seperti kota mati. Sepasang wartawan Voice of Korea (diperani oleh Nuri Maulida dan Bayu S Virgina) yang sedang bertugas meliput lenyap. Dua rekan mereka diperani Mike Amalia dan Yama Carlos, yang menyusul ke lokasi kejadian mendapati kota begitu sunyi. Pom bensin, hotel, perkantoran ditinggalkan penunggunya. Sehingga mereka dapat menikmati fasilitas tersebut secara gratis!

Selain dua hal di atas, “Angkerbatu” tidak berbeda jauh dengan film horor lainnya. Atmosfer horor yang dibangun melalui suasana gelap, kelebat sosok-sosok mahluk halus tak berhasil mencekam perasaan penonton. Begitu juga unsur komedi yang mencoba disusupkan melalui ulah dan tingkah sopir (Susilo Badar), tak mampu memberi kesegaran. Justru terkesan dipaksa. Secara pengadeganan pun kita tidak menemukan kreatifitas pembuatnya. Adegan perpindahan dari alam mahkluk halus ke alam manusia, misalnya mengingatkan kita pada adegan dalam sebuah sinetron “religius”.

Jika “Pocong 2” (Rudi Soedjarwo) mengandalkan unsur kejutan pada pemunculan pocong, dan pada “Kuntilanak” (Rizal Mantovani) kita bisa menikmati gambar-gambarnya yang bagus, maka kita tidak akan mendapatkan kedua unsur tersebut pada film garapan Jose Purnomo ini. Efek hujan maupun adegan para warga yang kerasukan teramat datar dan tidak menggigit. Akting para pemainnya pun standar-standar saja. Jika ada yang menarik mungkin adegan yang menggambarkan kota menjadi begitu senyap. Bukan hanya kota di Jawa Timur yang menjadi setting utama film ini, bahkan ketika mereka kembali ke Jakarta, ibukota negara ini pun didapati senyap, lanpa lalu lalang kendaraan. Adegan Mike Amalia di dalam supermarket yang sepi, sudah terlampau klise dan membosankan.

0 komentar: