IBARAT jatuh, tertimpa tangga pula. Nasib pesisir utara Kabupaten Bekasi kian memprihatinkan. Hutan mangrove yang dulu tebal, kini rusak akibat abrasi dan ulah tangan-tangan kebijakan yang tak punya tanggung jawab terhadap lingkungan. Yang paling parah, spesies yang dilindungi seperti lutung jawa (trachypitecus auratus) dan burung Kuntul (Ardeidae) pun kini menghilang.
Tukam seorang warga yang menetap di Muaragembong sejak 30 tahun lalu, menyatakan, mestinya pesisir utara menjadi pintu gerbang terakhir penyelamatan fauna di Kabupaten Bekasi. Kenapa Muaragembong? Karena wilayah ini semula memiliki areal mangrove terluas, dibandingkan dengan pesisir Kecamatan Babelan dan Kecamatan Tarumajaya.
Sebagian wilayah Muaragembong, ujar ayah enam orang anak ini, dialokasikan untuk wilayah perhutanan yang langsung di bawah kendali Departemen Kehutanan. Hanya berbagai jenis satwa, selain monyet dan burung kuntul (bangau putih) yang berada di sana kemungkinan ke depan tidak akan terselamatkan, kalau tidak ada penanganan segera dari para ahli, masyarakat, dan pemerintah. ”Sekarang ini, gimana ada monyet dan burung lagi, kalau sudah ga ada hutan kayak dulu,” kata Tukam.
”PR” melihat, mangrove yang terdiri atas pohon jenis bakau di sepanjang Kecamatan Muaragembong, tidak tepat lagi disebut hutan. Rerimbunan bakau terkesan renggang antara satu pohon dan pohon lainnya. Karena rerimbun tidak tebal dan jaraknya tidak rapat, dari arah pantai mata dapat langsung melihat ke arah pertambakan di balik jajaran pohon-pohon itu. Padahal, kata Tukam, sebelumnya daratan tidak dapat terlihat karena tertutup mangrove.
Ketika berkeliling, meskipun perahu motor yang ditumpangi sudah berupaya berjalan amat pelan dan tinggal berjarak sekitar 10 meter menyisir sisi pohon-pohon bakau, tetapi tetap saja tidak tampak adanya kehidupan monyet di sana. ”Saya kira, mereka sudah pada pindah ke daerah lain. Kalaupun masih ada, sisanya tinggal sedikit dan susah banget nemuinnya. Mungkin sudah tidak tahan tinggal di sini,” kata Tukam.
Ketidakseimbangan lingkungan
Selain lutung jawa, burung kuntul yang biasa bergerombol juga sudah tidak tampak di pesisir. Kalaupun ada, mereka hanya terbang rendah dan kembali terbang ke arah pantai Kabupaten Karawang. Dulu, kata Tukam, jumlahnya ribuan dan biasa menetap di karang-karang dan pohon.
Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi, Odja Djuanda juga mengakui fauna di pesisir utara sudah punah. ”Terjadi seperti setelah pembangunan di pesisir Jakarta Utara. Dulu banyak monyet, sekarang sudah ga ada,” katanya.
Berdasarkan Studi Kelautan Pelestarian Ekosistem Hutan Bakau Di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi yang dilakukan Pusat Studi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia 2002 memang menjelaskan terjadinya perubahan ekosistem yang menuju kehancuran di daerah ini.
Dari analisis yang dilakukan tim itu, luas wilayah hutan bakau dalam kurun waktu 59 tahun (1943-2002) telah mengalami penyusutan hebat dan mengalami perubahan secara signifikan, dan luasnya tinggal 16,27 persen dari semula 10.000 hektare menjadi 1.626,75 hektare.
Adapun fauna yang sebelumnya berasosiasi dengan hutan bakau di daerah itu, terdapat 32 jenis, sebagian besar burung rawa seperti kuntul. Juga hewan langka dan dilindungi seperti lutung jawa serta berbagai hewan yang mempunyai potensi ekonomi untuk dibudidayakan, antara lain udang dan kepiting bakau.
Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Jamari M.P. Tarigan juga membenarkan kasus ini. Karena menurut catatannya, memasuki 1990-an, kicauan burung kuntul dan teriakan lutung sudah jarang terdengar. ”Dan mulai tahun 1993, habitat itu sudah tidak ditemukan,” ujarnya.
Musnahnya populasi satwa, kata Jamari, disebabkan ketidakseimbangan dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Ketika hutan mangrove rusak seperti yang telah terjadi di pesisir utara, membuat satwa tidak bisa lagi bertahan di sana. Akhirnya, mereka memilih berpindah ke daerah lain. Kerusakan ini dibuktikan dari hasil foto udara yang dilakukan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2005. ”150 hektare bibir pantai hilang,” kata Tarigan.
Wahya, Kepala Seksi Bina Produksi Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan kabupaten itu menegaskan, kalau tidak ada saling kerja sama antara Dinas Pengendalian Lingkungan Hidup dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk melestarikan lingkungan, fauna di masa depan, lingkungan hidup dan ekosistem di dalamnya tidak terselamatkan lagi.
Dalam hal ini, kata Wahya, tentunya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah harus memiliki komitmen penataan ruang sehingga tidak terjadi perubahan peruntukan lahan. Apalagi, lanjut dia, untuk melaksanakan pembangunan harus mengorbankan lingkungan hidup. (JU-09)***